” Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk ” (Q.S. Ali Imran ayat 103).
Ayat di atas menjadi sangat relevan dengan kondisi kontemporer umat Islam, terutama di Indonesia saat ini. Perpecahan, sebagai masalah yang semestinya dicegah menurut ayat di atas, masih mewarnai sisi-sisi kehidupan umat, mulai dari skala kecil dan cabang (furu’) hingga yang skalanya besar dan pokok (ushul).
Selama ini, warna perbedaan yang bahkan ada yang menjurus kepada pertentangan di antara umat Islam pun masih kentara. Sebagai contoh Di Irak, beberapa kali kita menyaksikan aksi pengeboman terhadap sejumlah masjid yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Muslim Sunni merusak masjid Muslim Syi’ah, dan begitu juga sebaliknya. Hal yang sama juga kita saksikan di Pakistan dan Afghanistan. Dalam bidang fikih, sejarah Islam mengenal empat mahzab utama yaitu Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i yang masing-masing memiliki pengikut dengan fanatisme tinggi. Di Indonesia, sudah menjadi konflik tahunan dalam penentuan awal waktu dan akhir bulan suci Ramadhan. Ada juga konflik yang dipicu oleh tindakan kekerasan FPI (Front Pembela Islam) dan AKKBP. Dalam kasus tersebut, FPI diprotes keras oleh berbagai ormas-ormas Islam di seluruh Indonesia. Bahkan berbagai ormas Islam (termasuk NU) menuntut pembubaran FPI.
Contoh-contoh seperti di atas menarik untuk dicermati karena menjelaskan bagaimana realitas sosial keberagaman dipahami atau disikapi. Sejarah sosial dan pemikiran Islam sendiri penuh kisah perbedaan sikap dan pemahaman pemeluknya yang kerapkali melahirkan konflik, bahkan peperangan. Perbedaan demikian sudah berlangsung tidak lama sesudah Nabi muhammad SAW wafat pada perempat pertama abad ke-7 Masehi.
Maka dari itu, energi umat Islam sebagai penghuni mayoritas negeri ini dan penyumbang jumlah muslim terbesar sedunia, tersedot habis oleh banyaknya pertentangan internal. Jadilah posisi umat Islam lemah, baik secara ideologis, politis, dan sosial; kondisinya persis dengan yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, “Seperti buih di lautan,” jumlahnya banyak tapi tak signifikan eksistensinya. Potensi membina kebangkitan dan peradaban pun menjadi pesimisme sebagian kalangan.
Oleh karena itu, revitalisasi makna al-ukhuwwah al-islamiyyah (persaudaraan Islam) semestinya menjadi agenda penting dalam kehidupan umat Islam. Dengan konsep hubungan ukhuwah itulah Rasulullah Saw. berhasil membina masyarakat yang madani, penuh dengan kebaikan dan keberkahan.
Urgensi dari ukhuwah Islamiyah
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (Q.S. Al-Hujurat: 10).
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (Q.S. Ali-Imran: 105).
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Barangsiapa membantu keperluan saudaranya maka Allah akan membantu keperluannya” (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu Umar Ra.).
Berdasarkan berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat urgensi persatuan di antara umat Islam adalah yang paling penting. Konsep ukhuwah yang dibangun atas dasar ikatan akidah ini telah membawa umat menjadi kekuatan yang disegani. Konsep ini dari awal bahkan sudah menghapuskan rasialisme (ashabiyyah), baik yang bersifat kesukuan, gender, maupun warna kulit. Sebagai contoh: Ketika Rasulullah saw dan para sahabat hijrah dari Makkah ke Madinah, salah satu yang pertama kali Rasulullah lakukan selain membangun masjid adalah mempertautkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Seorang sahabat Muhajirin Rasulullah saw, Abdurrahman bin Auf, yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Sa'ad bin Rabi dikenal sebagai seorang saudagar yang kaya raya. Hanya saja ketika berhijrah, semua harta dan barang-barang berharga miliknya dia tinggalkan. Melihat saudaranya yang tidak mempunyai apa-apa lagi, Sa'ad bin Rabi berkata kepada Abdurrahman bin Auf, "Saudaraku, aku adalah salah seorang penduduk Madinah yang kaya raya, kau boleh lihat harta bendaku , barang perniagaanku dan sawah ladangku. Kalau kau mau, kau boleh ambil setengahnya. Saudaraku, aku juga punya dua orang istri, lihatlah mereka dan kau boleh pilih, mana yang paling menarik hatimu. Sekarang juga akan kuceraikan dan kau bisa menikahinya.
Kisah diatas memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi umat Islam. Betapa ukhuwah yang telah terpatri dalam sanubari seorang Muslim akan mampu menghasilkan sebuah hal yang mungkin tidak akan dikira sebelumnya.
Makna Ukhuwah Islamiyah
Menurut penulis, ada beberapa keutamaan dari ukhuwah yang terjalin antara sesama umat Islam. Pertama, ukhuwah menciptakan persatuan. Kisah heroik perjuangan para pahlawan bangsa negeri, bisa kita jadikan landasan betapa ukhuwah benar-benar mampu mempersatukan para pejuang pada waktu itu. Tak ada rasa sungkan untuk berjuang bersama. Tak terlihat lagi perbedaan suku, ras dan golongan. Yang ada hanyalah keinginan bersama untuk merdeka. Dan kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan persatuan. Bukankah Imam Ali Ra. pernah berkata, ”Kebenaran yang tidak teroganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang teroganisir.” Dan satu dari sekian cara untuk dapat mengorganisir adalah dengan persatuan yang timbul dari rasa ukhuwah.
Kedua, ukhuwah menciptakan kekuatan. Ketika Rasulullah Saw. dan para sahabat bersiap-siap menghadapi orang-orang musyrik dalam perang badar, timbul rasa gentar disebagian hati umat Islam, karena mendengar musuh yang akan dihadapi jumlahnya jauh diatas mereka. Namun Rasululllah Saw. berhasil menenangkan dan mententramkan mereka. Hasilnya, para sahabat yang tadinya gentar berubah menjadi tegar, hingga ukhuwah yang telah terjalin membuahkan sebuah kekuatan maha dahsyat. Akhirnya sejarah mencatat, peperangan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan umatnya itu berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Tentu juga tidak akan pernah terpikir oleh kita bagaimana sebuah bambu runcing para anak bangsa mampu mengalahkan kaum penjajah yang berkekuatan tank-tank baja dan peralatan perang modern lainnya.
Ketiga, ukhuwah menciptakan cinta dan kasih sayang. Apa yang melatar belakangi sahabat Anshar hingga dia merelakan setengah dari hartanya dan seorang istrinya. Sebuah kerelaan yang lahir dari rasa ukhuwah yang telah terpatri dengan baik. Dulunya belum kenal sama sekali, namun setelah dipersaudarakan semuanya dirasakan bersama. Inilah puncak tertinggi dari ukhuwah yang terjalin antara sesama umat.
Sekarang, disaat ukhuwah seakan menjadi barang langka di kalangan umat Islam, seharusnya menjadikan kita berpikir keras untuk kembali menengok ke belakang. Bahwa langka awal untuk mengembalikan kejayaan umat ini adalah dengan ukhuwah. Episode kehidupan Rasul dan generasi para sahabat yang sarat hikmah mutlak harus kita teladani demi terwujudnya suatu ukhuwah yang kuat dalam diri umat Islam sendiri. Wallahu’alam.